Pak Wariyo - melaluinya, dan atas izin Alloh...

Posted: Senin, 28 Mei 2012 by Unknown in
0


Selalu ada saja pelajaran yang bisa kita ambil dari setiap orang yang kita temui. Begitu kira-kira percakapanku kemarin dengan calon istri temanku di aplikasi hape multiplatform bernama whatsapp. Yaa, saya sependapat, sepakat dengan apa yang dia ucapkan. Namun dari sekian banyak orang yang telah aku kenal, ada satu nama yang benar-benar tak akan pernah terlupa. Pak Wariyo, itu nama lengkapnya. 

Saya tertarik untuk menjadikan ini sebuah postingan bersambung setelah benar-benar dibuat surprise dengan kedatangannya Senin, 28 Mei 2012 menghadiri pesta perkawinan saya. Meskipun sudah telat, dan meskipun sebenarnya mempelai laki-lakinya dikiranya bukan saya. Tapi itu justru menjadi tambah surprise. Dan saya juga bersyukur beliau kondangan telat, sehingga justru saya bisa buanyyaaak banget bercerita dengan beliau. Terakhir kali melihat beliau, sedih sekali rasanya. Kecelakaan di dekat kuburan Kompleks Makam Bupati Banyumas membuat kepala beliau harus dioperasi dan sempat agak kurang "isi"selama berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun. Saya sudah lupa, waktu kejadiannya tahun berapa.

Saya tidak tahu background keluarganya, tidak tahu tanggal lahirnya, tidak tahu ukuran sepatunya. Yang saya tau, Pak Wariyo akan menjadi guru kelas lima dan kelas enam sekolah tingkat dasarku. Yang saya tahu juga, Pak Wariyo orang yang tegas dan galak, banyak tidak disukai siswa bandel, tapi pelajaran apapun yang beliau terangkan, seharusnya siswa bandel sekalipun paham. Waktu itu, di sekolah dasar saya, ada sebuah kebijakan dimana agar dirasa intens dalam membimbing murid, guru kelas enam adalah guru yang sama di kelas lima. Saya hanya bisa bernalar sederhana dimana dengan kebijakan tersebut, guru akan lebih dekat dengan muridnya, dan pada akhirnya hubungan yang sudah baik ini dirasa akan memberikan pengaruh yang baik pula pada nilai EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Nasional) –sepertinya singkatannya itu. Kalau sekarang mungkin sama dengan yang namanya Ujian Nasional. Itu analogi saya sekarang, dulu waktu masih sekolah dasar, saya tidak bisa beranalogi. Alhasil, dari kebijakan tersebut, saya mendapat kesempatan untuk diajar pak Wariyo selama dua tahun untuk mengantarkan kami kepada suksesnya EBTANAS.

Banyak sekali cerita menarik tentang beliau, ataupun tentang saya yang melibatkan beliau. Kebetulan, saya termasuk alhamdulillaah siswa yang menonjol di kelas, sehingga kami sering berinteraksi baik terutama jika ada lomba-lomba antar sekolahan. Banyak sekali cerita menarik, dari cara beliau menyetir sepeda di setiap tikungan dengan kepala yang sedikit “tengeng”, sampai kepada penunjukan ketua kelas dadakan dengan hak prerogatif dari saya. Hahaha, atau bahkan cerita yang kalau diceritakan, saya sendiri malu mengatakannya. Pernah saya dibonceng dari Majingklak dengan sepeda onthel-nya menuju lomba mocopat di SD Negeri 1 Sudagaran Banyumas. Kalah, dan pulangnya ditraktir bakso inem di samping sekolahan. Pernah juga saya dipaksa menjadi wasit pertandingan sepakbola kelas enam melawan kelas lima, padahal beliau sendiri tahu betul saya buta akan peraturan persepakbolaan. Rasanya waktu itu sama saja seperti tidak ada wasit. Yang bermain, mereka sendirilah yang memutuskan adanya hands ball atau offside atau bahkan kick off setelah salah satu tim kebobolan. Saya sama sekali tidak tahu, hanya pegang peluit dan serasa tidak ada di lapangan luas itu. Every teacher teaches with their style. Menurutnya, sebagai laki-laki, saya harus bisa bermain yang namanya Sepak Bola.

Jadi teringat salah satu juri Indonesian Idol 2012, Ahmad Dani. Suatu ketika saya nonton Infotainment yang sedang bercerita Akhmad Dani dan ketiga anak laki-lakinya yang hobi sekali bola. Baginya, cowok harus suka bola. Kalau cowok nggak suka bola, berarti nggak wajar. Naah Looo... Saya suka sebenernya, tapi highlights-nya saja. Nonton sembilan puluh menit lebih dan pada akhirnya skor 0-0, rasanya akan begitu buang-buang waktu. Itu versi saya... Tapi sedikit banyak saya setuju dengan mas Dani. Waktu dulu saya kecil, terlahir sebagai anak paling bungsu, rasanya ayah ibu terlalu overprotected kepada saya. Sampailah kepada vonis paru-paru basah dari dokter ternama di Banyumas, dan sejak saat itu ibu saya melarang saya yang namanya hujan-hujanan, bermain sepak bola bersama teman-teman sebaya... Dan pada akhirnya, sekarang saya merasa ada sesuatu yang hilang pada diri saya di masa kecil, sesuatu yang seharusnya saya lakukan namun tidak saya lakukan, hingga berimbas sampai sekarang. Saya bisa dibilang tak memiliki teman di desa saya. Hahaha, and it's such a difficult thing that i can mend... Pengalaman adalah guru yang sangat berharga, dan saya pikir saya akan jadikan ini sebagai catatan untuk digarisbawahi dalam mendidik anak-anakku nantinya...

Masih tentang beliau. Saya masih ingat betul, setiap anak diminta mengerjakan soal IPA di buku LKS (Lembar Kerja Siswa). Segera diselesaikan dan dicocokan bersama. Saya juga masih ingat betul, siapa yang mengoreksi hasil pekerjaan saya, Nurbaeti namanya. Entah karena salah hitung atau salah mendengar kunci jawaban, pekerjaan saya dinilai terlalu tinggi, dan nilai sudah dibukukan oleh Pak Wariyo. Akhirnya saya maju ke depan, bilang kepada Pak Wariyo bahwa nilai saya tak sebagus itu. Beliau menanggapinya dengan muka datar. Yaa, memang tipikal orangnya seperti itu. Pelajaran berikutnya setelah IPA adalah PPKn, dan kebetulan materi pembahasan hari itu adalah kejujuran. Dan saya dipuji akan apa yang baru saja saya lakukan. Rasanya sangat senang mendapat pujian itu.

Naik ke kelas enam, saya masih mendapatkan kesempatan bertemu beliau. Dua tahun saya menjadi sekretaris I, sementara sekretaris II bernama Ribut Priyatin. Tugas sekretaris adalah menulis di papan tulis hitam (bukan blackboard) materi-materi dalam buku khusus beliau, di mana hanya beliau saja yang punya buku tersebut | blackboard setahu saya nama sebuah perusahaan rekaman pita suara dan kaset. Sekretaris dituntut untuk bisa memenuhi target beliau. "Pokoknya kalau saya kembali, yang ditulis sudah sampai halaman ini yaaa", begitu pesan beliau sambil melenggang ke luar kelas. Mungkin sedikit menghilangkan penat dengan guyonan ringan bersama guru-guru di kantor. Hal yang sangat tabu bagi kami untuk memasuki ruangan guru-guru. Tapi otak polos saya saat itu hanya berfikir melakukan yang terbaik apa yang diperintahkan pak guru. Kalau sekarang, mungkin saya bakal fotocopy aja materi itu. Satu hal positif yang saya dapat, buku-buku Pak Wariyo sering saya bawa pulang, dengan alasan saya belum mencatatnya dan akan mencatat di rumah. Dengan demikian, saya lebih dari sekadar pengetahuan teman-teman saya, karena saya bisa membaca buku-buku beliau di halaman lainnya yang tidak diperintahkan beliau untuk dituliskan di papan tulis. Sayapun pernah mendapatkan LKS dengan kunci jawaban masih menempel di halaman paling tengah buku. Tapi toh saya nggak mengambilnya. Saya hanya memfotokopi... aiiih, nggak laahhh. Saya kembalikan utuh karena kejujuran saya (saat itu).

Yang menarik adalah ketika kami sekretaris berdua saling bahu membahu mengejar target sang guru, beberapa anak bandel melempari kami dengan kapur tulis. Mereka yang malas mencatat selalu saja berteriak belum selesai menulis apa yang ada dalam papan, sementara kami ingin segera menghapus dan melanjutkan tugas mulia kami. Sekretaris II menangis dan saya dikucilkan gank nakal tersebut. Dan sampai pada akhirnya, kemarahan tak terbalaskan saya, saya laporkan kepada Pak Wariyo melalui sepucuk surat. Di dalamnya saya mengadu, mengadu sejadi-jadinya. Hahaha, konyol sekali keesokan harinya. Beliau langsung masuk dengan muka datar, lalu menyuruh ketua gank nakal tersebut menjadi ketua kelas. Itu keinginan saya dalam surat itu, dan saya cukup senang atas respon dari surat saya tersebut. Tapi toh cara tersebut tidak berhasil. Alih-alih dia bertaubat, malah makin menjadi-jadi...

Dialah Pak Wariyo, dengan bimbingannya, aku mampu meraih EBTANAS dengan nilai bagus, mempunyai modal untuk terus bersaing dengan siswa-siswa di SMP Negeri 1 Banyumas yang nota bene kebanyakan siswanya berasal dari sekolah dasar perkotaan... Dialah Pak Wariyo, yang ikut andil atas apa yang sudah saya capai sampai saat ini..

Selanjutnya
Pak Wariyo - Melon yang tertangguh

0 komentar: